Miris Gadis ‘menukar’ Keperawanan dikarenakan Pembalut

0
276
Foto :Getsy Image

k

ebutuhan akan pembalut mungkin bukan persoalan di Indonesia, namun pembalut kewanitaan jadi barang langka di Kenya

Bahkan untuk mendapatkannya, para wanita harus ‘menukar’ keperawanan mereka. Kisah miris ini benar-benar terjadi pada wanita di Kenya.

Dilansir Mirror, gadis-gadis di Kenya terpaksa berhubungan seks dengan pria lebih tua demi bisa membeli pembalut kewanitaan. Kemiskinan dan stigma seputar menstruasi menjadi faktor utama penyebabnya.

Penelitian yang dilakukan Unicef menunjukkan bahwa 65 persen wanita di Kibera, perkampungan kumuh di Kenya, rela menukar seks dengan produk kewanitaan. Organisasi amal yang bernaung di bawah PBB itu juga menemukan bahwa 54 persen gadis Kenya mengaku kesulitan akses untuk mendapatkan produk kebersihan kewanitaan.

Dari data tersebut pun terungkap, 22 persen gadis sekolah harus membeli pembalut dengan uang sendiri karena orangtuanya tak mampu memberikannya. Situs Independent melansir, banyak wanita muda yang berhubungan seks dengan sopir taksi, ojek motor, atau boda boda (ojek sepeda) karena dua alasan.

“Alasan pertama sudah jelas karena kemiskinan – para gadis dan wanita tidak memiliki uang lebih untuk membeli pembalut. Tapi ada juga karena isu suplai. Transaksi (dengan) seks untuk produk kewanitaan terjadi karena barang-barang tersebut tidak tersedia di desa,” kata Ketua Unicef Kenya bagian Air, Sanitasi dan Higienitas Andrew Trevett.

Andrew juga menjelaskan bahwa di pedesaan, wanita tidak memiliki akses transportasi maupun ongkos bayar bus untuk membeli pembalut di kota. Bahkan di beberapa desa terpencil, tidak tersedia jalan dan kendaraan yang bisa mengantar untuk beli pembalut

Kemiskinan produk kewanitaan ini sudah menjadi masalah umum di Kenya. Bagi mereka yang tidak mampu mendapatkan pembalut, akan menggunakan barang lain untuk menampung darah menstruasi yang keluar.

Berdasarkan temuan Unicef, 7 persen wanita memakai baju bekas, bulu ayam, koran bekas hingga lumpur sebagai pengganti pembalut atau tampon. Beberapa dari mereka bahkan menggali lubang di tanah dan jongkok berhari-hari di awal-awal periode menstruasi.

Pembahasan tentang menstruasi dan kesehatan organ reproduksi wanita memang masih menjadi topik yang tabu di Kenya, begitupun edukasi tentang seks. Hanya 50 persen anak perempuan yang berani terbuka membicarakan menstruasi di rumah.

Sementara itu, satu dari sepuluh wanita di negara-negara Afrika terpaksa bolos sekolah setiap bulannya karena tidak tersedianya pembalut. Kini Unicef dan pemerintah Kenya sedang berusaha mengatasi masalah penting yang kerap kali dianggap sepele itu.

Sejak ditangani Unicef, sekitar 90.000 gadis di 335 sekolah sekarang sudah memiliki akses untuk mendapatkan fasilitas kewanitaan yang aman dan bersih.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here